Belajar Dari Yang Ikhlas

Langit memang berwarna biru, tapi mengapa harus biru? Mengapa tidak hijau, merah atau pink?
Air memang bening, tapi mengapa harus bening? Mengapa tidak berwarna saja? Toh, masih banyak warna yang bisa dipakai si air.
Mentari memang berwarna jingga, tapi mengapa harus jingga? Mengapa tidak warna lain saja?
Awan memang berwarna putih, tapi mengapa harus putih? Mengapa tidak memilih warna lain saja yang lebih cantik dan mentereng?

Langit, air, mentari dan awan merupakan ciptaan Allah, sama seperti yang lain, juga ciptaan Allah. Termasuk manusia. Namun, beda. Langit, air, mentari, dan awan adalah ciptaan Allah yang ikhlas saja menerima apa yang ada. Tidak pernah protes dan tidak pernah mengeluh.

Langit berwarna biru, ya tetap biru, dan selamanya tetap biru. Dia tak pernah mengeluh dan protes ingin berubah menjadi hijau, merah atau pink. Kalau sudah diberi warna itu, ya dia terima begitu saja dengan ikhlas.

Mentari, dia terus memancarkan sinarnya dibumi. Walau terkadang dia dilaknat oleh kebanyakan makhluk bumi karena sengatannya, dia tak peduli. Tetap konsisten dengan tugas dan tanggung jawabnya tanpa mengeluh dan protes. Toh, dia memahami bahwa mengeluh itu tak ada gunanya, karena sampai suatu saat nanti dia akan beristirahat dengan tenang. Dan masa-masa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya itu akan menjadi kenangan untuk semua penghuni alam semesta.

Air, memang dia tidak berwarna. Tidak seperti ciptaan Allah lainnya yang cantik jelita dengan warnanya masing-masing. Tapi, apakah dia mengeluh? Apakah dia protes dengan meminta merubah warnanya? Tidak, tidak sama sekali. Dia bahkan menerimanya dengan tulus ikhlas. Dengan bening tak berwarna saja banyak yang tak peduli dan berterima kasih padanya, apalagi kalau berwarna, pasti banyak yang sombong dan angkuh karena memilikinya.

Awan, inilah dia sesuatu yang putih dan berserak di langit yang biru. Dia selalu saja dicerca karena menurunkan hujan. Apalagi di saat yang tidak tepat. Meskipun dicerca, dimaki, dan dihina, dia tetap sabar. Tidak pernah protes tentang tugas dan tanggung-jawabnya sebagai penurun rahmat dari langit. Toh, dia yakin bahwa hujan yang diturunkan adalah sesuatu yang amat berguna bagi semua elemen semesta.

Langit, mentari, air dan awan saja tak pernah mengeluh dan menerima segala sesuatu dengan ikhlas dan sabar. Lah? Bagaimana dengan manusia? Apakah sama juga? Itu belum tentu.

Hei, langit, mentari, air, dan awan, mari berjamaah dan memohon ampunan atas kelakuan manusia yang tidak pandai bersyukur ini. Doakan manusia agar ikhlas saja dengan apa yang ada. Mau itu susah, senang, besar, kecil, sedang, berwarna atau tidak berwarna, tetap disyukuri saja. Karena suatu saat nanti akan ada hal-hal yang bisa dikenang dan itu menjadi kisah yang indah. Ya,  tapi kalau diterima dengan ikhlas.

Langit, mentari, air, dan awan, mari berpegang tangan dan menyusun kata dan kalimat nasihat kepada semua manusia yang sudah singgah dimuka bumi Allah ini. Nasihatilah manusia dengan kata-kata yang mampu membisik nurani. Semoga saja langit, mentari, air, dan awan berhasil menyadarkan manusia. Bahwa siapakah manusia? Mengapa mereka masih berdiri dengan angkuh di tanah bukan milik mereka sendiri?

Navira Fatah
Navira Fatah Menulis adalah membuat jejak kehidupan

Posting Komentar untuk "Belajar Dari Yang Ikhlas"