Ada Hingga Tiada

Biarkan aku kejam, kejam pada bunga layu yang tak bisa kembali indah.
Biarkan aku serakah, serakah pada rayuan angin yang mendatangkan kabar.
Biarkan aku gusar, marah pada hujan yang tak pernah mendatangkan pelangi.

Sebenarnya hati ini menangis dalam sekali, pedih. Saat membayangkan waktu-waktu yang telah berlalu cepat sekali bak sekali kedipan mata. Sekarang sudah saatnya ada pengganti. Sekarang sudah saatnya pohon tua tumbang, diganti dengan bibit baru. Lantas, bagaimana dengan nasib pohon-pohon tua itu? Apakah akan lapuk, hancur, lantas mejadi pupuk, dan berguna bagi tanah dan generasi selanjutnya? Entahlah, kalau memang sudah saatnya lapuk dan tumbang, tumbanglah dia. Dan pohon muda selanjutnya yang akan menjadi perhatian.

Begitu juga dengan dunia ini, suatu saat kita semua pasti tua, dan lemah. Suatu saat akan ada pengganti, yakni generasi selanjutnya. Sebelum itu terjadi, tanyakan pada diri masing-masing apa yang sudah kita lakukan untuk kemaslahatan umat? Apa kontribusi kita untuk generasi selanjutnya? Apa kebaikan yang sudah kita tanamkan di dunia ini?

Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepala jika kita berpikir lebih dalam. Hidup ini bukan untuk selamanya, ada saat di mana semua yang kita miliki akan hilang dan pergi. Orang-orang terdekat, harta, tahta, cinta, kekuatan, kecerdasan, keturunan, kecantikan, dan hal lain. Memang pedih sekali jika dibayangkan barang sebentar saja. Tapi, dengan begitu kita bisa bercermin, bahwa memang tak ada yang abadi di dunia ini. Langit yang tinggi saja bisa berhujan, apalagi manusia yang lemah. Akan ada saatnya lemah tak berdaya, hingga tiada.

Navira Fatah
Navira Fatah Menulis adalah membuat jejak kehidupan

3 komentar untuk "Ada Hingga Tiada"