Ketika kegelapan menyapu langit, orang-orang dengan mata besar terpejam. Kadang di tengah gelapnya, muara sungai dipenuhi hajatan. Saat pagi menjelang, orang-orang berjalan mengenakan seragam merah putih, biru putih dan abu-abu putih.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dalam hati. Pisang goreng yang kujual dari subuh tadi sampai sekarang matahari bersinar terang belum habis terjual. Masih ada beberapa pisang lagi di atas loyang. Aku duduk di samping tembok pagar, depan rumah orang kaya di kampung. Berharap ada yang keluar dari rumah besar itu dan memborong semua jualanku. Sementara itu, makin banyak saja anak-anak berseragam rapi lewat di depanku, niat ingin menuntut ilmu. Aku menatap mereka dengan tatapan cemburu, ingin sama seperti mereka, yang punya buku dan pena, punya tas, sepatu, dan seragam yang bagus.
Sering kubertanya dalam hati, "Tuhan, kapan aku seperti mereka lagi? Merasakan manisnya ilmu dan pertemanan yang luas?"
"Yaah, kasihan ya. Kita sekolah, dia masih jual pisang goreng." Ucap salah satu anak SD mengejek. Teman-temannya yang berjalan bersisian dengannya menatapku serentak. Lantas, mereka tertawa sepanjang jalan, menganggapku sebagai hiburan pagi. Ibu Guru mereka yang berdiri di belakang, menegur mereka, mengancam akan menghukum mereka sesampainya di sekolah nanti.
Sudah menjadi hal biasa, aku menerima ejekan anak-anak yang mampu. Kadang bukan saja satu kelompok, malah banyak kelompok mengejek dan menertawakanku sebagai anak miskin yang setiap hari jualan pisang goreng keliling kampung. Aku menerima ejekan mereka dengan lapang dada serta senyuman.
"Yaah, kasihan ya. Kita sekolah, dia masih jual pisang goreng." Ucap salah satu anak SD mengejek. Teman-temannya yang berjalan bersisian dengannya menatapku serentak. Lantas, mereka tertawa sepanjang jalan, menganggapku sebagai hiburan pagi. Ibu Guru mereka yang berdiri di belakang, menegur mereka, mengancam akan menghukum mereka sesampainya di sekolah nanti.
Sudah menjadi hal biasa, aku menerima ejekan anak-anak yang mampu. Kadang bukan saja satu kelompok, malah banyak kelompok mengejek dan menertawakanku sebagai anak miskin yang setiap hari jualan pisang goreng keliling kampung. Aku menerima ejekan mereka dengan lapang dada serta senyuman.
"Hei Nyong, pisang goreng masih ada?" tanya Ibu pemilik rumah besar ini. Beliau mengenakan baju dinas, sepertinya hendak berangkat kerja. Aku berdiri tegap, meninggalkan tembok pagar besar yang sedari tadi kusandari.
"Iya Bu, masih ada enam pisang goreng. Ibu mau beli berapa?" tanyaku antusias.
"Beli semuanya. Sebentar ya, saya ambil piring dulu." Demi mendengar ucapan ibu pemilik rumah besar ini, senyumanku mengembang lebar. Satu menit kumenunggu, beliau datang dengan membawa piring dari dalam rumah. Sementara itu, anak-anak sekolah sudah jarang di jalanan. Hanya ada beberapa yang terlihat berjalan dengan langkah panjang, takut kalau-kalau bel sudah berbunyi.
"Terima kasih Bu." Ucapku selepas memberi uang kembalian pada ibu itu. Beliau senyum, lantas masuk ke rumah besar itu lagi.
Loyang pisang goreng kosong. Menatap loyang kosong sepanjang jalan pulang saja membuat rasa lelahku sirna.
Di depan pintu rumah, aku memberi salam. Mama menjawab salamku. Terlihat beliau tengah sibuk membersihkan kamar, menyapu tempat tidur dengan sapu lidi dan mengibas-ngibas bantal. Sedangkan Harisa dan Halima telah berangkat ke sekolah.
"Hamsa, kau sudah pulang?" tanya Mama basa-basi. Aku ber-hmm saja. Menuang air dari cerek, lantas meneguknya cepat.
"Hari ini laku semua, Ma." Ucapku bangga. Aku memberikan seluruh hasil jualanku, lantas sarapan. Uang hasil menjual pisang goreng setiap hari digunakan oleh Mama untuk membiayai sekolah Harisa dan Halima, kadang kalau lebih Mama gunakan untuk membayar biaya air dan tambah-tambah biaya listrik. Selain membantu Mama menjual pisang goreng, aku juga membantu Mama mencari kayu bakar di hutan, menimba air di perigi untuk air minum, mencari sayur di hutan, dan memancing ikan di laut.
Mama sehari-hari menjadi buruh cuci. Banyak guru dan pegawai negeri di kampung kami yang kesehariannya sibuk. Mereka adalah langganan Mama. Keluarga kami telah lama kehilangan sosok ayah. Telah lima tahun lalu, saat Harisa dan Halima masih berusia dua tahun, Ayah meninggalkan kami semua. Meninggalkan kenangan indah yang tak akan pernah dilupakan. Ayahku adalah seorang sopir truk pengangkut batu sungai dan pasir sungai. Biasanya angkutannya dibayar mahal. Beliau meninggal karena tabrakan beruntun di tanjakan dekat Kota Ambon.
Hari-hari awal, saat keluarga kami tanpa Ayah sangatlah malang, hanya mengharapkan bantuan tetangga. Mama pinjam ini itu di warung, dan sering tak mampu membayar. Sementara aku yang waktu itu masih di bangku SD hanya bisa membantu Mama seadanya saja. Harisa dan Halima saat itu masih kecil, berumur dua tahun. Kini, sudah lima tahun berlalu sejak Papa meninggal, dan sudah tiga tahun aku putus sekolah demi membantu keluarga. Harisa dan Halima pun sudah kelas satu SD. Seandainya aku sekolah lagi, mungkin sekarang aku sudah kelas dua SMP.
Selepas sarapan, aku langsung berangkat ke hutan. Mencari sayur dan kayu bakar. Sepanjang jalan menuju hutan, aku mendendangkan lagu-lagu lawas Maluku. Mulai dari Sio Mama, Papa Ceda, Gandong, dan sebagainya. Terhitung lebih dari enam atau tujuh lagu kudendangkan sambil menyusuri jalan setapak yang dikelilingi semak belukar. Sesampainya di sungai, aku memutuskan berjalan ke kiri sungai, barangkali di hutan sebelah kiri sungai ada banyak sayur mate (sayur khas Maluku), sayur daun melinjo, dan kayu bakar.
Keasrian alam di kampungku selalu terjaga dari dulu hingga kini. Langit biru yang terbentang luas di atas, hutan dan gunung yang hijau, dan air sungai dan laut yang jernih dan bening. Pula banyak binatang liar di sana-sini, termasuk rusa, ular, koala, dan sebagainya.
"Hamsaa.." Suara lelaki memanggilku dari belakang. Aku yang hendak menyeberangi anak sungai menoleh ke belakang. Rupanya Ajibo yang memanggilku. Adalah kakak kelasku dulu. Dia juga berhenti sekolah. Bukan karena masalah keuangan, tapi karena dia malas. Bosan dengan pelajaran yang katanya cuma basa-basi itu.
"Sejak kapan kau di belakangku?" tanyaku sekenanya.
"Dari tadi. Kau saja yang tak menyadari. Apalagi jalan kau persis semut, pelan sekali. Kau bisa kalah jalan cepat kalau berlomba denganku." Ucap Ajibo, dia terkekeh. Meletakan durian-durian yang dia pikul dengan kayu di atas bebatuan sungai.
"Aku duluan ya, memburu waktu. Banyak yang mau kucari di dalam hutan sana."
"Kawan, janganlah terlalu buru-buru. Mari kita makan durian." Ajak Ajibo sambil membelah durian dengan parang. Sepertinya dia baru saja pulang dari kebun durian, bermalam di sana. Mengumpulkan durian-durian yang jatuh dari pohonnya.
"Aih, kawan, marilah." Lanjut Ajibo lagi. Spontan aku urung menyeberangi sungai. Harum durian tak bisa kutolak.
"Kau mau cari apa di dalam hutan sana?" tanya Ajibo.
"Apa saja yang penting bisa berguna." Jawabku. Aku tertawa. Ajibo selalu saja begitu, bertanya sesuatu yang dia sudah tahu sendiri jawabannya.
Ajibo memakan satu buah durian, begitu juga denganku. Dua durian berkurang. Tapi itu tidak terhitung, tidak mengurangi banyaknya durian yang akan Ajibo bawa ke rumah.
Lima belas menit kami habiskan untuk makan durian di atas bebatuan sungai. Aku dan Ajibo bercerita banyak, tentang hal-hal yang terjadi di kampung kami.
"Kawan, aku duluan ya. Terima kasih banyak kawan." Ucapku. Ajibo mengangguk sambil menyalakan rokok di mulutnya. Aku melambaikan tangan dan menyeberangi sungai.
Di kejauhan, terlihat Ajibo masih menikmati rokoknya. Duduk di atas bebatuan sungai ditemani tumpukan durian.
Bersambung....
"Iya Bu, masih ada enam pisang goreng. Ibu mau beli berapa?" tanyaku antusias.
"Beli semuanya. Sebentar ya, saya ambil piring dulu." Demi mendengar ucapan ibu pemilik rumah besar ini, senyumanku mengembang lebar. Satu menit kumenunggu, beliau datang dengan membawa piring dari dalam rumah. Sementara itu, anak-anak sekolah sudah jarang di jalanan. Hanya ada beberapa yang terlihat berjalan dengan langkah panjang, takut kalau-kalau bel sudah berbunyi.
"Terima kasih Bu." Ucapku selepas memberi uang kembalian pada ibu itu. Beliau senyum, lantas masuk ke rumah besar itu lagi.
Loyang pisang goreng kosong. Menatap loyang kosong sepanjang jalan pulang saja membuat rasa lelahku sirna.
Di depan pintu rumah, aku memberi salam. Mama menjawab salamku. Terlihat beliau tengah sibuk membersihkan kamar, menyapu tempat tidur dengan sapu lidi dan mengibas-ngibas bantal. Sedangkan Harisa dan Halima telah berangkat ke sekolah.
"Hamsa, kau sudah pulang?" tanya Mama basa-basi. Aku ber-hmm saja. Menuang air dari cerek, lantas meneguknya cepat.
"Hari ini laku semua, Ma." Ucapku bangga. Aku memberikan seluruh hasil jualanku, lantas sarapan. Uang hasil menjual pisang goreng setiap hari digunakan oleh Mama untuk membiayai sekolah Harisa dan Halima, kadang kalau lebih Mama gunakan untuk membayar biaya air dan tambah-tambah biaya listrik. Selain membantu Mama menjual pisang goreng, aku juga membantu Mama mencari kayu bakar di hutan, menimba air di perigi untuk air minum, mencari sayur di hutan, dan memancing ikan di laut.
Mama sehari-hari menjadi buruh cuci. Banyak guru dan pegawai negeri di kampung kami yang kesehariannya sibuk. Mereka adalah langganan Mama. Keluarga kami telah lama kehilangan sosok ayah. Telah lima tahun lalu, saat Harisa dan Halima masih berusia dua tahun, Ayah meninggalkan kami semua. Meninggalkan kenangan indah yang tak akan pernah dilupakan. Ayahku adalah seorang sopir truk pengangkut batu sungai dan pasir sungai. Biasanya angkutannya dibayar mahal. Beliau meninggal karena tabrakan beruntun di tanjakan dekat Kota Ambon.
Hari-hari awal, saat keluarga kami tanpa Ayah sangatlah malang, hanya mengharapkan bantuan tetangga. Mama pinjam ini itu di warung, dan sering tak mampu membayar. Sementara aku yang waktu itu masih di bangku SD hanya bisa membantu Mama seadanya saja. Harisa dan Halima saat itu masih kecil, berumur dua tahun. Kini, sudah lima tahun berlalu sejak Papa meninggal, dan sudah tiga tahun aku putus sekolah demi membantu keluarga. Harisa dan Halima pun sudah kelas satu SD. Seandainya aku sekolah lagi, mungkin sekarang aku sudah kelas dua SMP.
Selepas sarapan, aku langsung berangkat ke hutan. Mencari sayur dan kayu bakar. Sepanjang jalan menuju hutan, aku mendendangkan lagu-lagu lawas Maluku. Mulai dari Sio Mama, Papa Ceda, Gandong, dan sebagainya. Terhitung lebih dari enam atau tujuh lagu kudendangkan sambil menyusuri jalan setapak yang dikelilingi semak belukar. Sesampainya di sungai, aku memutuskan berjalan ke kiri sungai, barangkali di hutan sebelah kiri sungai ada banyak sayur mate (sayur khas Maluku), sayur daun melinjo, dan kayu bakar.
Keasrian alam di kampungku selalu terjaga dari dulu hingga kini. Langit biru yang terbentang luas di atas, hutan dan gunung yang hijau, dan air sungai dan laut yang jernih dan bening. Pula banyak binatang liar di sana-sini, termasuk rusa, ular, koala, dan sebagainya.
"Hamsaa.." Suara lelaki memanggilku dari belakang. Aku yang hendak menyeberangi anak sungai menoleh ke belakang. Rupanya Ajibo yang memanggilku. Adalah kakak kelasku dulu. Dia juga berhenti sekolah. Bukan karena masalah keuangan, tapi karena dia malas. Bosan dengan pelajaran yang katanya cuma basa-basi itu.
"Sejak kapan kau di belakangku?" tanyaku sekenanya.
"Dari tadi. Kau saja yang tak menyadari. Apalagi jalan kau persis semut, pelan sekali. Kau bisa kalah jalan cepat kalau berlomba denganku." Ucap Ajibo, dia terkekeh. Meletakan durian-durian yang dia pikul dengan kayu di atas bebatuan sungai.
"Aku duluan ya, memburu waktu. Banyak yang mau kucari di dalam hutan sana."
"Kawan, janganlah terlalu buru-buru. Mari kita makan durian." Ajak Ajibo sambil membelah durian dengan parang. Sepertinya dia baru saja pulang dari kebun durian, bermalam di sana. Mengumpulkan durian-durian yang jatuh dari pohonnya.
"Aih, kawan, marilah." Lanjut Ajibo lagi. Spontan aku urung menyeberangi sungai. Harum durian tak bisa kutolak.
"Kau mau cari apa di dalam hutan sana?" tanya Ajibo.
"Apa saja yang penting bisa berguna." Jawabku. Aku tertawa. Ajibo selalu saja begitu, bertanya sesuatu yang dia sudah tahu sendiri jawabannya.
Ajibo memakan satu buah durian, begitu juga denganku. Dua durian berkurang. Tapi itu tidak terhitung, tidak mengurangi banyaknya durian yang akan Ajibo bawa ke rumah.
Lima belas menit kami habiskan untuk makan durian di atas bebatuan sungai. Aku dan Ajibo bercerita banyak, tentang hal-hal yang terjadi di kampung kami.
"Kawan, aku duluan ya. Terima kasih banyak kawan." Ucapku. Ajibo mengangguk sambil menyalakan rokok di mulutnya. Aku melambaikan tangan dan menyeberangi sungai.
Di kejauhan, terlihat Ajibo masih menikmati rokoknya. Duduk di atas bebatuan sungai ditemani tumpukan durian.
Bersambung....
Posting Komentar untuk "Tabaos"