Ayah, kadang kuberpikir. Waktu berjalan terlalu cepat, hingga memakan rambut hitammu dan badan kekarmu. Masih teringat dengan jelas raut muka mudamu dulu, tersenyum ramah kepada siapa saja, dan kini wajah itu penuh garis keriput. Masih teringat jelas, dulu kau menggendongku sambil menyusuri pantai dan jalanan. Mengayung dan membuangku ke atas, lantas menangkapku kembali. Namun kini, lihatlah, kaki dan lututmu bahkan tak sanggup lagi menopang badanmu yang sudah tidak gagah lagi.
Juga masih teringat dengan jelas, dulu kau begitu sering berbicara, bercerita bangga tentang masa lalumu. Lantas menasihati ini dan itu, memarahiku kalau berbuat salah, dan berucap tidak benar. Namun, semua hanya dulu. Kini, kau sudah berubah. Tubuh yang kekar dan rambut yang hitam tidak sama lagi. Entah ke mana menghilang. Pula kini, kau banyak berdiam, banyak melihat dan memantau saja. Tak tahukah ayah, aku merindukan marahmu, nasihatmu, canda dan tawamu.
Tak bisakah kau mengulang waktu atau setidaknya mengembalikan waktu? Seperti kau memperbaiki mainanku hingga kembali seperti semula? Aku ingin seperti dulu lagi, nyaman di pangkuanmu, ditimang-timang, dininabobokan olehmu, dan dibuatkan mainan olehmu. Aku tak tahu, kapan waktu akan berbaik hati untuk mengulang dirinya sendiri.
Ayah, tetaplah memarahi dan menasihatiku. Aku masih anak kecilmu, aku masih bocah yang dulu kau marahi karena memanjat pohon dan mengotori dinding rumah. Ayah, janganlah pernah menganggapku sebagai orang dewasa, aku masih anak kecil Yah, aku masih bocahmu.
Masih ingat tidak Yah, aku pernah bermain dengan semir sepatumu, hingga menghabiskan isi semirnya. Kau tidak memarahiku, tetapi malah tertawa karena melihatku berbicara sendiri dengan sepatu hitammu yang membisu.
Ayah, masih ingatkah kau, Yah. Saat dulu anakmu meminta sepeda baru karena menjadi juara kelas. Kau hanya tersenyum tenang sambil bilang, "nanti besok akan ayah belikan". Tapi sampai besok, besok, dan besok-besoknya lagi, sepeda itu tak kunjung tiba di rumah. Kau menggantikan sepeda itu dengan membelikanku sebuah durian. Itu sudah membuatku lebih dari bahagia.
Ayah, kau tak perlu risau dengan masa depan anak-anakmu. Hiduplah dengan tenang. Nikmatilah masa tuamu dengan senyuman. Bahagialah selamanya.
Ayah, masih ingatkah kau, Yah. Saat dulu anakmu meminta sepeda baru karena menjadi juara kelas. Kau hanya tersenyum tenang sambil bilang, "nanti besok akan ayah belikan". Tapi sampai besok, besok, dan besok-besoknya lagi, sepeda itu tak kunjung tiba di rumah. Kau menggantikan sepeda itu dengan membelikanku sebuah durian. Itu sudah membuatku lebih dari bahagia.
Ayah, kau tak perlu risau dengan masa depan anak-anakmu. Hiduplah dengan tenang. Nikmatilah masa tuamu dengan senyuman. Bahagialah selamanya.
Posting Komentar untuk "Ayah"