Aku berjalan menyusuri
ibukota, yang dijuluki Kota Metropolitan, katanya. Padat, pengap, sesak, dan muram
– sesekali ia terlihat ceria dan gembira. Itulah wajah yang adakalanya ditampakkan
kepada semua orang. Tak kurang setiap hari penduduknya harus merasakan antrian
mobil yang panjang, bunyi klakson yang memekakkan telinga, udara yang tercemar,
dan kehidupan individualis yang kental. Semua itu lebih dari cukup untuk
membuat penduduk bumi “setengah sengsara” ini menjadi “hampir gila” setiap
saat. Di lain hal, ia dijamuri dengan gedung-gedung bertingkat, seakan berlomba
untuk mencakar langit yang megah. Berdinding kaca dan berlantai marmer berkelas,
sangat spektakuler bagi para pemimpi dan pemburu harta karun dunia. Bukan hanya
itu, ia pula menyediakan fasilitas kejahatan dan kebaikan. Tergantung
penduduknya memilih yang mana. Kejahatan difasilitasi dengan sempurna di setiap
sudutnya, begitu juga kebaikan. Komplet.
Sekali waktu, ia ingin berontak dan menghancurkan semua yang berdiri di atasnya dengan tangannya sendiri. Meluluh-lantakan apa saja, meluapkan segala emosi, berkacak pinggang dan dengan lega menertawakan para penjarah-penjarah itu. Lantas kemudian bisa beristirahat dengan nyaman tanpa mendengar lagi keributan dan kesibukan yang tidak bermakna. Tapi, apalah daya, ia tidak mampu. Tidak sampai hati melakukannya. Ia hanya bisa menerima dan merasakan saja dengan tangan terbuka. Seringkali dengan berat hati ia mengatakan “Selamat datang di wilayahku, nikmatilah semua yang ada di sini sesuka hati.”
Sekali waktu, ia ingin berontak dan menghancurkan semua yang berdiri di atasnya dengan tangannya sendiri. Meluluh-lantakan apa saja, meluapkan segala emosi, berkacak pinggang dan dengan lega menertawakan para penjarah-penjarah itu. Lantas kemudian bisa beristirahat dengan nyaman tanpa mendengar lagi keributan dan kesibukan yang tidak bermakna. Tapi, apalah daya, ia tidak mampu. Tidak sampai hati melakukannya. Ia hanya bisa menerima dan merasakan saja dengan tangan terbuka. Seringkali dengan berat hati ia mengatakan “Selamat datang di wilayahku, nikmatilah semua yang ada di sini sesuka hati.”
Kita mungkin berpikir
bahwa kota yang pernah dijajah beratus tahun silam ini menawarkan kemewahan
hidup dan kegelimangan harta. Hingga kita berbondong-bondong datang dari
berbagai penjuru, mengadu nasib, menjejak selama bertahun-tahun, bahkan dengan
bebasnya beranak-pinak di sini. Tapi di balik semua itu, kita tidak tahu dan
tidak paham. Bahwa sebenarnya ia adalah “kota yang kesepian”. Kota yang setiap
harinya merintih, mengaduh dan menangis. “Kasihanilah aku Tuhan!” begitulah rintihan
hatinya. Lelah dan penat. Terbayang selalu pengorbanan dan penderitaannya di
masa lalu, terbakar dan berdarah-darah. Penistaan dan penghinaan yang
diterimanya dari masa ke masa, hitam dan kelam. Tiada yang dipikirkannya selain
bagaimana menyenangkan orang lain yang datang mengunjunginya tanpa sekalipun ia
sempat memikirkan dirinya sendiri. Bahkan seiring jarum jam berdetik,
ditekuklah wajahnya yang keriput dan kusam itu. Entah sudah berapa lama ia
menanggung penderitaan yang tak tahu kapan berujung.
Meski kelihatan seperti
kota tua dengan garis keriput di mana-mana – sebab perjuangan dan pengorbanan dari
masa ke masa. Ia beserta penduduknya punya keunikan sendiri yang tiada banding.
Kau dan aku bahkan tidak bisa menyamakannya dengan kota lainnya di bagian bumi
manapun. Jika banyak yang bilang bahwa penduduk kota ini semuanya individualis,
mereka keliru. Tidak sedikit penduduk kota berparas udik ini yang peduli sesama
lain. Kebanyakan dari mereka masih suka menolong orang lain, menjawab pertanyaan
jika ditanya, bahkan tidak disangka-sangka banyak dari mereka bisa menjalin
hubungan, singkat karena bertemu tidak sengaja di kereta dan angkutan umum
lainnya.
Kita melihat wajah kota
ini di televisi, lantas bertanya-tanya “kenapa masih saja ada orang yang datang
menaruh harapan di kota kusut ini, meski mereka tahu betul bahwa bisa saja
impian mereka menjadi mustahil?” Kadang kita juga bertanya, “kenapa kota ini
masih bertahan dengan kelelahan dan kepenatannya meski sebenarnya ia merintih
berulang kali dalam hatinya dengan suara lirih?” Malah ada juga yang bertanya “kenapa
kota ini menerima saja semua jajah, cemooh, hina, dan siksa dari dulu hingga detik
ini?”
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat kita temukan hingga kita benar-benar mengenali dan memahaminya. Mungkin menjadi sebuah rahasia antara ia dengan Tuhan. Namun, ada satu hal yang mesti kita tanamkan dalam hati kita bahwa kota berwajah muram ini patut diacungi seribu jempol dan memang pantas disebut “Ibukota”. Ibu dari semua kota yang berhati lapang, mampu menerima segala kepahitan dengan tulus ikhlas.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat kita temukan hingga kita benar-benar mengenali dan memahaminya. Mungkin menjadi sebuah rahasia antara ia dengan Tuhan. Namun, ada satu hal yang mesti kita tanamkan dalam hati kita bahwa kota berwajah muram ini patut diacungi seribu jempol dan memang pantas disebut “Ibukota”. Ibu dari semua kota yang berhati lapang, mampu menerima segala kepahitan dengan tulus ikhlas.
Rabu, 17 Januari 2018 @ruangan_bersejarah
Posting Komentar untuk "Ibukota Berhati Lapang"